Melandainya harga komoditas dan pelemahan ekonomi China akan menjadi tantangan pemerintahan baru dalam menggenjot ekspor. Namun, Indonesia juga memiliki banyak potensi ekspor di sektor hilirisasi pertanian.
Harga komoditas sempat melambung pada 2022 setelah perang Rusia-Ukraina meletus pada Februari 2022. Harga batu bara, emas, dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) bergantian mencetak rekor.
Data Refinitiv menunjukkan rata-rata harga batu bara menyentuh US$ 345,41 per ton pada 2022 atau melonjak 128,6% dari tahun sebelumnya. Demikian juga dengan rata-rata harga CPO tahunan yang melesat ke MYR 4.155,1 per ton atau terbang 134% pada 2022.
Harga batu bara pada 2022 berkali-kali mencetak rekor dan puncaknya menembus US$ 463 pada 5 September 2022.
Pada 9 Maret 2022, CPO menyentuh harga MYR 7.268/ton yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa. Nikel pun tidak mau ketinggalan. Harga nikel mencatat rekor baru di Maret 2022. Di awal Maret 2022, bursa logam London (LME) bahkan menangguhkan perdagangan hingga seminggu karena aksi short selling membawa harga nikel mencapai lebih dari US$ 100.000/ton.
Lonjakan harga komoditas mulai terjadi pada akihr 2021 sejalan dengan normalnya aktivitas perdagangan global usai pandemi Covid-19.
Periode 2022-2023 adalah masa di mana dunia tengah diberkahi “booming komoditas” setelah 10 dekade sebelumnya atau setelah periode 2010-2012.
Ekspor Indonesia sempat beberapa kali mencetak rekor pada 2022 karena melambung harga batu bara sampai CPO. Puncaknya adalah pada Agustus 2022 di mana ekspor menyentuh US$ 27,86 miliar.
Di sisi lain, impor dalam negeri pada periode 2020 hingga sekarang belum naik setinggi pra-pandemi.
Melambungnya ekspor karena komoditas sementara di sisi lain impor masih belum melonjak membuat Indonesia mencatat surplus panjang hingga 52 bulan berturut-turut. Surplus membentang mulai Mei 2020 hingga Agustus 2024.
Ini adalah periode surplus terpanjang usai periode Soeharto.
Ekspor Indonesia di era Joko Widodo (Jokowi) juga sangat terbantu dengan hilirisasi nikel. Merujuk data BPS, nilai ekspor fero nikel Indonesia melonjak dari US$ 373,6 juta (Rp 5,66triliun) pada 2010 menjadi US$ 15,29 miliar pada 2023 atau sekitar Rp 231,57 triliun. Kurs yang dipakai adalah US$1 =Rp 15.145.
Ekspor nikel dan barang dari padanya juga melesat dari US$ 1,44 miliar (Rp 21,81 triliun) pada 2010 menjadi US$ 6,82 miliar pada 2023 (Rp 103,29 triliun).
Di sisi lain, impor masih lesu, terutama barang konsumsi, yang menunjukkan adanya perlambatan permintaan dalam negeri. Impor barang konsumsi hanya tumbuh 8,6% pada 2023 bahkan terkontraksi pada 2022. Padahal, impor barang konsumsi tumbuh double digit sebelum pandemi.
“Banyak sekali penurunan impor dikarenakan oleh turun drastisnya impor barang konsumsi selama dan setelah pandemi Covid, menandakan masih belum pulihnya tingkat konsumsi dan kepercayaan (confidence) masyarakat,” tutur Ekonom UOB Enrico Tanuwidjaja.
Tantangan Ekspor ke Depan: Harga Komoditas Melemah, Ekonomi China Lesu
Orientasi perdagangan Indonesia telah berubah dalam beberapa tahun terakhir. China kini telah menggeser Amerika Serikat (AS) dan Jepang untuk menjadi mitra dagang terbesar Indonesia
Sebelum dekade 2010-an, Jepang merupakan menjadi tujuan ekspor utama ataupun mitra dagang terbesar bagi Indonesia. Perubahan besar terjadi sejak diluncurkannya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada 2004. Kesepakatan tersebut menghapus tarif untuk 94,6% dari semua jalur tarif untuk ekspor asal Indonesia ke China.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai perdagangan Indonesia-Jepang pada 2004 tercatat US$ 18,62 miliar di mana ekspor Indonesia mencapai US$ 15,96 miliar. Sementara itu, nilai perdagangan dengan China baru menembus US$ 12,24 miliar dengan nilai ekspor US$ 4,6 miliar.