
Tarif impor yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) terhadap China memberikan dampak negatif terhadap China hingga berdampak terhadap industri manufakturnya. Namun, Indonesia juga sebenarnya memiliki peluang untuk memanfaatkan dampak perang dagang dari China.
Dilansir dari CNBC International, pabrik-pabrik di China menghentikan produksi dan mencari pasar baru setelah AS memberlakukan tarif baru yang tinggi terhadap barang-barang impor dari China. Kebijakan tarif ini menyebabkan penurunan pesanan dari pelanggan AS, memaksa banyak pabrik untuk menutup sementara operasi mereka dan mengevaluasi strategi ekspor mereka.
Beberapa pabrik mulai mengalihkan fokus mereka ke pasar lain di Asia dan Eropa untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS. Namun, transisi ini tidak mudah karena perbedaan regulasi, preferensi konsumen, dan tantangan logistik di pasar-pasar baru tersebut.
Para analis memperingatkan bahwa jika ketegangan perdagangan antara AS dan China terus berlanjut, dampaknya bisa meluas ke rantai pasokan global dan memperlambat pertumbuhan ekonomi di kedua negara.
Melihat ke luar Amerika Serikat
Semakin sedikit perusahaan China yang mempertimbangkan untuk mengalihkan ekspor ke AS melalui negara lain, mengingat meningkatnya pengawasan AS terhadap praktik transshipment, kata Ashley Dudarenok, pendiri ChoZan, sebuah konsultan pemasaran di China. Banyak dari perusahaan China juga mengalihkan produksi ke luar China.
Ia menambahkan bahwa banyak perusahaan kini mendiversifikasi produksi mereka ke India dibandingkan Asia Tenggara, sementara yang lain mulai beralih dari pelanggan di AS ke pelanggan di Eropa dan Amerika Latin.
Beberapa perusahaan bahkan telah membangun jalur perdagangan baru dari China.
Liu Xu menjalankan sebuah perusahaan e-commerce bernama Beijing Mingyuchu yang menjual produk kamar mandi ke Brasil. Kendati bisnisnya menghadapi tantangan akibat fluktuasi nilai tukar dan tingginya biaya pengiriman kontainer, Liu mengatakan bahwa ia memperkirakan perdagangan dengan Brasil pada akhirnya tidak akan terlalu terdampak oleh ketegangan antara China dan AS.
Ekspor China ke Brasil telah meningkat dua kali lipat antara tahun 2018 dan 2024, begitu pula ekspor China ke Ghana.
CEO Bright Tordzroh mengatakan selama pandemi Covid-19, Cotrie Logistics yang berbasis di Ghana didirikan untuk membantu bisnis dalam pengadaan barang, mengoordinasikan pengiriman di tengah keterlambatan pelabuhan, dan membangun jalur logistik yang andal.
Perusahaan ini terutama beroperasi dalam perdagangan antara China dan Ghana, dan kini menghasilkan pendapatan tahunan sebesar US$300.000 hingga US$1 juta, ujarnya.
Ketegangan perdagangan antara AS dan China telah mendorong banyak perusahaan untuk mencari lokasi pengadaan dan manufaktur di luar Amerika Serikat, kata Tordzroh, dan ia berharap hal ini bisa menciptakan lebih banyak peluang bagi Cotrie.
Apakah RI Diuntungkan?
Dampak perang dagang antara AS dan China ternyata juga dapat dirasakan oleh Indonesia yang merupakan mitra dagang dari kedua negara tersebut.
Bank Central Asia (BCA) dalam laporannya pada 22 April 2025 menunjukkan bahwa ke depan jumlah ekspor dan impor Indonesia berpeluang mengalami penurunan akibat dimulainya perang dagang global baru, terutama dengan tarif Trump yang bisa memukul surplus perdagangan Indonesia, mengingat ekspor ke AS menyumbang lebih dari separuh surplus perdagangan.
Ketegangan global memperbesar risiko terpecahnya perdagangan dunia, mirip masa Covid-19. Dampak terbesar bisa terjadi bila Indonesia tidak siap memanfaatkan peluang trade diversion, sebagaimana Vietnam dan Meksiko yang sebelumnya diuntungkan dalam Trade War 1.0.
Dengan tantangan yang ada di depan, skenario terbaik bagi Indonesia kemungkinan hanya berupa pengalihan perdagangan, karena China terus berupaya menghindari tarif dengan berinvestasi di basis manufaktur lain.
Pada perang dagang 1.0, China meningkatkan investasi ke Vietnam dan membangun basis manufaktur di sana untuk kemudian mengirim ekspornya. Strategi ini bisa menghindari tarif yang lebih tinggi.
Antara 2018 hingga 2024, upaya perluasan basis manufaktur China di luar negaranya ini lebih banyak menguntungkan Vietnam dan Meksiko, yang menjadi perantara utama dalam perdagangan China-AS. Sebaliknya, manfaat bagi Indonesia relatif terbatas. Oleh karena itu, kecuali Indonesia kini lebih siap, Perang Dagang 2.0 bisa jauh lebih merugikan dibandingkan Perang Dagang 1.0.